Demokrasi yang kita bangun haruslah menjauhkan diri dari tirani kekuasaan dan golongan kuat, serta bentuk-bentuk pemaksaan kehendak yang justru merusak rasa keadilan.

EkonomiPolitik

BENANG MERAH ANTARA PPN 12% DENGAN OKNUM PENGUSAHA DAN POLITIKUS BUSUK

Tiranitotalitas, Jakarta – Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% di Indonesia menjadi sorotan tajam dari berbagai pihak. Meskipun pemerintah mengklaim kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dan menyeimbangkan struktur fiskal, banyak pihak yang justru menentangnya. Penolakan tersebut tidak selalu muncul dari dasar analisis ekonomi yang rasional, melainkan sering dibumbui dengan narasi emosional yang menyentuh hati masyarakat. Namun, benang merah yang menghubungkan kepentingan oknum pengusaha, politikus busuk, dan rakyat dalam polemik ini layak untuk diurai lebih dalam.

 PPN 12% dan Dampaknya terhadap Oknum pengusaha

Oknum pengusaha, terutama importir, menjadi salah satu pihak yang terdampak secara signifikan oleh kenaikan tarif PPN. Sebagai pasar potensial, Indonesia memiliki ketergantungan besar pada barang impor. Dengan kenaikan tarif PPN, harga barang impor otomatis meningkat, mengurangi daya saing produk tersebut dibandingkan dengan produk lokal.

Data Ekspor-Impor: Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Januari 2024, nilai ekspor Indonesia mencapai US$20,52 miliar, sementara impor senilai US$18,51 miliar. Barang konsumsi menyumbang porsi signifikan pada impor ini. Dalam konteks ini, oknum pengusaha yang mengandalkan barang impor akan menghadapi tekanan besar, baik dari sisi biaya operasional maupun permintaan pasar yang menurun akibat kenaikan harga.

Oknum pengusaha lokal, sebaliknya, mungkin mendapatkan keuntungan relatif karena produk mereka menjadi lebih kompetitif dibandingkan barang impor. Namun, keuntungan ini tidak terjadi secara langsung, karena daya beli masyarakat yang menurun juga memengaruhi seluruh sektor ekonomi. Namun dengan Langkah strategis pemerintah hal tersebut dapat diatasi baik melalui bantuan sosial yam tepat guna dan tepat sasaran termasuk percepatan infrastruktur pendukung yang penting.

Politikus Busuk dan Pemanfaatan Isu Kenaikan PPN 11%  Menjadi 12%

Isu kenaikan PPN sering kali dimanfaatkan oleh politikus busuk untuk membangun citra populis. Narasi bahwa kebijakan ini akan “membebani rakyat kecil” digaungkan secara luas tanpa memberikan analisis yang mendalam. Strategi ini bertujuan untuk memicu emosi publik dan menciptakan persepsi negatif terhadap pemerintah. Dalam beberapa kasus, aktor politik ini bekerja sama dengan oknum pengusaha yang merasa dirugikan oleh kebijakan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Motivasi Politis mereka yaitu :

•  Menggoyang Stabilitas Pemerintah: Penolakan masif terhadap kenaikan PPN dapat menciptakan kesan bahwa pemerintah tidak kompeten atau tidak berpihak pada rakyat.

•  Menekan Kebijakan Alternatif: Dengan memanfaatkan isu ini, politikus dapat menekan pemerintah untuk mengubah kebijakan menjadi lebih menguntungkan kelompok tertentu.

•  Pencitraan Pasca Pemilu: Politikus busuk menggunakan isu ini untuk meraih dukungan elektoral pasca kalah kontestasi dengan mengklaim bahwa mereka yang benar-benar “membela rakyat kecil.” Walaupin fakta dan Sejarah telah menjadi bukti yang nyata bagaimana sepak terjang mereka selama ini.

Kolaborasi Oknum pengusaha dan Politikus Busuk

Hubungan antara oknum pengusaha dan politikus busuk dalam isu ini menjadi semakin nyata ketika keduanya memiliki kepentingan yang sejalan. Oknum pengusaha yang merasa dirugikan oleh kenaikan PPN melihat peluang untuk melindungi keuntungan mereka dengan menggunakan pengaruh politikus busuk. Sebaliknya, politikus busuk melihat peluang untuk meraih dukungan publik dengan menyuarakan “penolakan” atas nama rakyat.

Strategi yang Digunakan

•  Penciptaan Narasi Bersama: Oknum pengusaha dan politikus bekerja sama menciptakan narasi bahwa kenaikan PPN hanya akan menambah penderitaan rakyat kecil, meskipun dampak sebenarnya lebih kompleks.

•  Mobilisasi Media: Dengan menggunakan media yang mereka kendalikan atau pengaruhi, mereka memprovokasi masyarakat melalui pemberitaan yang tidak seimbang, menonjolkan sisi negatif tanpa menyajikan informasi lengkap.

•  Dukungan Finansial: Oknum pengusaha yang memiliki modal besar mendukung kampanye politikus busuk, baik secara langsung maupun terselubung, untuk memastikan suara mereka lebih nyaring di ruang publik.

•  Tekanan terhadap Pemerintah: Kombinasi dari tekanan politik dan opini publik yang terpolarisasi digunakan untuk memaksa pemerintah mengubah atau membatalkan kebijakan kenaikan PPN.

Narasi Penolakan yang Emosional

Salah satu taktik yang sering digunakan adalah membangun narasi bahwa kenaikan PPN akan “membunuh daya beli rakyat.” Narasi tersebut sering kali tidak menyertakan fakta-fakta penting, seperti:

•  Barang kebutuhan pokok yang tetap bebas PPN.

•  Kompensasi dari pemerintah berupa bantuan sosial untuk kelompok rentan.

•  Narasi semacam ini bukan hanya merugikan pemerintah, tetapi juga membingungkan masyarakat. Alih-alih memahami kebijakan dengan objektif, masyarakat justru terjebak dalam opini yang dirancang untuk memprovokasi.

Konsekuensi Sistematis dari Penolakan

Ketika isu kenaikan PPN dimanipulasi, masyarakat menjadi alat bagi kepentingan kelompok tertentu. Beberapa konsekuensi dari rencana sistematis ini adalah:

* Polarisasi Sosial: Masyarakat terpecah antara yang mendukung dan menolak kebijakan ini, sering kali tanpa pemahaman yang cukup.

* Gangguan Ekonomi: Penolakan yang masif dapat menciptakan ketidakpastian ekonomi, yang justru merugikan semua pihak, termasuk oknum pengusaha dan konsumen.

* Distraksi dari Isu Lain: Isu PPN digunakan untuk mengalihkan perhatian publik dari persoalan lain yang lebih krusial.

 Langkah untuk Memutus Pola Manipulasi

* Transparansi Kebijakan: Pemerintah harus menjelaskan alasan dan manfaat kenaikan PPN dengan lebih baik, termasuk bagaimana dana tambahan akan digunakan.

* Edukasi Publik: Literasi masyarakat tentang kebijakan fiskal harus ditingkatkan agar mereka dapat memahami dampak kebijakan secara objektif.

* Pengawasan terhadap Aktor Politis: Mekanisme untuk memantau politisasi isu-isu publik harus diperkuat, termasuk melalui media yang lebih bertanggung jawab.

Kesimpulan

Kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% bukan hanya soal kebijakan fiskal, tetapi juga soal tarik-menarik kepentingan antara oknum pengusaha, politikus busuk, dan masyarakat. Jika tidak dikelola dengan baik, isu ini dapat menjadi alat manipulasi yang merugikan semua pihak. Masyarakat perlu dibekali dengan informasi yang objektif, sementara pemerintah harus tetap fokus dan konsekuen pada tujuan jangka panjang dari kebijakan ini. Dengan memahami benang merah ini, diharapkan publik dapat lebih kritis terhadap narasi-narasi yang muncul, sehingga tidak menjadi korban manipulasi yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Dan secara ikhlas serta sukarela bersama-sama bergotong royong membangun bangsa dan negara ini menjadi lebih maju dan sejahtera.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *